8/23/2010

RI Seperti Sudah Masuk 'Peringkat Investasi'

"Agar kita bisa mencapai investment grade adalah cadangan devisa minimal US$100 miliar." VIVAnews - Dalam beberapa pekan terakhir, perkembangan sejumlah indikator perekonomian menunjukkan tanda-tanda positif. Kepercayaan investor asing meningkat sehingga berbondong-bondong menginvestasikan dana di Indonesia.

Itu terekam jelas dari indeks harga saham gabungan terus meningkat, yield obligasi pemerintah menurun, nilai tukar rupiah menguat tajam, cadangan devisa bertambah, peringkat utang semakin membaik dan lainnya. Tekanan laju inflasi sedikit mengancam, namun pertumbuhan ekonomi menunjukkan tanda-tanda positif.

Banyak kalangan, baik ekonom dan tim ekonomi pemerintah optimistis dengan perkembangan perekonomian Indonesia ke depan. Bahkan, tak sedikit yang percaya Indonesia bakal segera meraih peringkat investment grade.

Namun, bagi Managing Director Head of Global Banking Citibank di Indonesia, Kunardy Lie, jika dilihat dari yield obligasi pemerintah di luar negeri, Indonesia seperti sudah masuk investment grade.

"Namun, untuk benar-benar masuk investment grade, ada syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia," ujar Kunardy dalam wawancara khusus dengan wartawan VIVAnews, Mohamad Teguh dan Heri Susanto di Jakarta sembari buka puasa bersama baru-baru ini.

Dia optimistis dengan beberapa perbaikan, bankir jebolan University of Texas ini berkeyakinan ekonomi Indonesia bakal jauh lebih baik.

Bagaimana anda melihat tren indeks bursa Indonesia yang terus menguat. Ini riil atau bubble?

Kalau saya melihatnya bukan ke sana (bubble). Ini lebih terkait dengan masuknya dana-dana jangka pendek dari hedge fund. Sekarang, kondisi Amerika sedang sempoyongan. Eropa juga demikian. Jadi, pilihannya adalah Asia. Kawasan emerging market yang dipilih tentu China, India, setelah itu mereka melihat Indonesia. Jadi, wajar jika hedge fund menatap Indonesia. Dampaknya terasa pada kenaikan indeks saham gabungan dan nilai tukar rupiah.

Bukankah serbuan hedge fund ada sisi bahayanya?
Ini perlu diwaspadai karena sifat hedge fund jangka pendek. Gampang masuk dan gampang keluar. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong dana asing diinvestasikan di sektor riil. Itu yang dilakukan China dengan 'memaksa' dan menahan dana asing dengan cara diinvestasikan di sektor riil.

Apa yang bisa dilakukan agar dana asing tak hanya masuk ke instrumen jangka pendek tetapi juga ke sektor riil?
Indonesia sesungguhnya memiliki keunggulan dari sisi market yang besar dan sumber daya alam. Namun, investasi asing untuk sektor riil perlu digalakkan dengan memperbaiki berbagai kelemahan. Misalnya, soal pembenahan infrastruktur, memperluas pelabuhan, memperbaiki iklim investasi.

Lebih konkretnya, langkah untuk memikat investor asing?
Ambil saja contohnya Jakarta. Saat ini, Jakarta memang menarik bagi investor finansial. Tetapi, Jakarta kalah bersaing dengan kota-kota di Asia lainnya, seperti Singapura. Jakarta lebih dikenal sebagai kota macet dan tidak efisien, pelabuhan menumpuk sehingga ongkosnya mahal. Jika Jakarta dibenahi, maka investor akan semakin banyak yang datang.

Anda sepakat dengan ide ibukota Indonesia dipindah dari Jakarta?
Jakarta memang lebih cocok sebagai pusat jasa dan finansial service. Pindahkan, pusat pemerintahan, industri manufaktur dan pabrik-pabrik keluar wilayah Jakarta. Kemudian, perbesar pelabuhan Tanjung Priok, sekaligus mempermudah akses kawasan-kawasan industri ke pelabuhan.

Artinya, kegiatan ekonomi tidak hanya terpusat di Jakarta?
Kita perlu mengembangkan daerah-daerah lain sebagai pemerataan dan pusat kegiatan ekonomi. Itu bisa dilakukan dengan cara pemerintah memberikan insentif bagi wilayah-wilayah lain untuk dikembangkan. Hal seperti ini sudah dilakukan di China dengan membuat zona-zona khusus kawasan pengembangan ekonomi dengan fungsi yang berbeda-beda. Dengan begitu, pusat pemerintah, bisnis, jasa, perdagangan dan industri tidak hanya terfokus pada satu wilayah saja.

Bagaimana perkembangan obligasi pemerintah?
Sekarang, yield obligasi pemerintah Indonesia sudah semakin bagus. Pada Januari 2009, imbas dari krisis finansial 2008, Indonesia menjual obligasi dengan bunga 11,75 persen. Pada Januari 2010, Indonesia menerbitkan obligasi dengan bunga 6 persen. Itu sudah jauh lebih murah, meski tetap menghitung harga premium karena ini penerbitan obligasi baru.

Jika dibandingkan dengan negara lain, bunga obligasi Indonesia bukankah masih mahal?
Kalau kita bandingkan dengan Philipina misalnya, memang lebih mahal sedikit. Kenapa Philipina bisa lebih murah, itu karena pasar lokalnya cukup besar. Pemain lokal banyak yang ikut membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah Philipina sehingga ikut menurunkan yield obligasi. Sedangkan, pembeli obligasi di Indonesia lebih sedikit.

Tapi, jangan lupa, perkembangan sekarang, obligasi Indonesia sudah jauh lebih bagus. Bahkan, jika kita melihat yield-nya obligasi RI negara ini sekarang sudah seperti masuk peringkat investment grade BBB-. Itu satu level di atas peringkat sekarang BB+.

Kenapa begitu?
Lihat saja yield obligasi Indonesia di pasar dan bandingkan dengan negara tetangga. Sebut saja misalnya, INDON-20, sekarang yield-nya sudah di level 3,943 persen, sedangkan obligasi Philipina 2020 yang juga jatuh tempo 2020, yield-nya 3,842 persen. Credit default swap (CDS) atau premi asuransi yang dibeli investor obligasi sudah turun menjadi 140-145 basis poin. Itu setara dengan CDS Philipina. Kalau saya sarankan, sekarang adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk menerbitkan obligasi global lagi.

Apa yang perlu dilakukan agar Indonesia benar-benar segera masuk peringkat investment grade?
Feeling saya, faktor yang paling penting agar kita bisa segera mencapai investment grade adalah cadangan devisa harus dinaikkan minimal sebesar US$100 miliar. Itu adalah level psikologis yang akan membuat para investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.

Soal nilai tukar rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia nampaknya mulai cemas dengan penguatan kurs rupiah?
Sebenarnya, penguatan rupiah tidak perlu dikhawatirkan. Meski Rupiah menguat sampai 8.500 per dolar AS tidak apa-apa bagi eksportir. Toh, dulu waktu rupiah 2.000 per dolar, eksportir juga tidak protes.

Ini terkait dengan peran Citibank di Indonesia. Apa betul sebagai bank asing, Citibank kurang peduli terhadap pembangunan ekonomi, khususnya sektor infrastruktur?
Kami memang sangat hati-hati dalam memberikan kredit untuk infrastruktur. Apalagi, saat krisis finansial 2008, kami sangat hati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, setelah krisis mereda, kami mulai memberikan kredit. Pada Agustus 2009, Citibank bahkan memberikan pinjaman ke Pertamina US$400 juta untuk jangka waktu tiga tahun. Di sektor infrastruktur, kami terjun ke telekomunikasi. Sedangkan, di sektor korporasi, kami memberikan pinjaman untuk sektor pertambangan, consumer good, perkebunan dan telekomunikasi.

Kenapa kurang tertarik untuk sektor infrastruktur lainnya?
Sebenarnya di sektor korporasi, kami juga sudah membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan memberikan pinjaman di sektor pertambangan, perkebunan, consumer goods, itu kan ada kegiatan ekonomi, kebutuhan mesin dan penyerapan tenaga kerja. Itu juga kan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kalau untuk kredit jalan tol?
Kalau jalan tol, jangka waktu kreditnya panjang sekali. Kami hanya bisa memberikan kredit untuk jangka waktu lima tahun. Ini berbeda dengan bank BUMN yang bisa memberikan pinjaman dengan tenor hingga sepuluh tahun. Di sisi lain, kami juga harus melihat cash flow debitor.
• VIVAnews :http://fokus.vivanews.com/news/read/172630-peringkat-ri-seolah-sudah-investment-grade



salam hormat dariku,
wong_anTeng

Related Posts

Silakan Berkomentar di Blognya Mbak Widha (BMW), Agar komentarnya rapi mohon komentar menggunakan NAMA anda, hindari pemakaian nama yang aneh-aneh biar gak masuk Spam!

Lapak Aneka Souvenir Promosi Widhadong

 









Konveksi Kaos Widhadong